My Writings

Kekecewaan Seorang Pengembarara

Matahari bersinar menyinari bumi, tatkala manusia sedang asyiknya bercumbu dengan aktifitas di alam raya ini. Ibarat seorang diktator yang tak kenal dengan demokrasi, begitu kekuasaan yang dimiliki oleh matahari pada siang hari, yang tak pandang buluh menembus ke seluruh permukaan kulit bumi.

Insan manusia merasakan getaran panasnya matahari itu, mencari dan mengembala ibaratkan di padang pasir. Rasa haus, rasa lapar yang tak kunjung reda dan tak ada dewa yang bisa menyelamatkan, kecuali yang menguasai sinar itu.

Pengembala yang telah lama menanti awan demokrasi dan awan keadilan yang akan melindungi kulit-kulit kehidupan. Namun apakah keteduhan itu bisa ku rasakan atau tidak. Berharap dengan sangat, berharap dengan ketabahan dan kesabaran.

Di negeri yang jauh disana, yang dihuni mungkin sama seperti insan yang ada di negeriku ini. Tapi awan-awan itu muncul meneduhi segala panas terik yang menembus kulit-kulit kehidupan. Aku merasa awan demokrasi dan awan keadilan itu bukan lagi cerminan dibumiku. Telah lama ku pengembara untuk bisa mengadopsi cuaca kedamaian yang nantinya bisa awan-awan yang menjadi paying bagi keteduhan umatku negeri ini.

Oh…. Negeriku yang sedang dilanda gerimis, apakah hujan itu nantinya bisa membangkitkan kesuburan bagi tanahku berpijak, apakah hujan kiriman itu bisa membuat tanahku basah dan bisa mengkokohkan akar-akar kehidupan. Bersimpul dan berharap padaMU kasih Tuhan. Moga awan itu bisa menjadi awan keadilan dan kedamaian bagi tunas-tunas harapan bangsa ini.

Tapi telah beberapa tahun ini aku menyaksikan di video kehidupan, awan-awan itu tidak bisa membawa hujan yang bisa membuat kesuburan bagi tunas dan akar kehidupan. Aku kecewa padamu hai negeriku. Mengapa engkau lepaskan hujan itu mengaliri daerahku sehingga tunas dan akar kehidupan itu hanyut dibawa air yang tak bersahabat.

Bangkinang-Riau, 02 Oktober 2009 (12:53 Wib)